Rasulullah berdiri (sebagai penghormatan). Saat rombongan orang-orang membawa mayat. Sahabat protes “wahai rasulullah tapi dia itu orang yahudi?” Rasulullah menjawab “bukankah dia manusia?” Bahkan dilain kesempatan ketika Rasulullah ditanya tentang memberi bantuan materi kepada non Muslim, “Apakah kami boleh memberi bantuan kepada orang-orang Yahudi?” Tanya sahabat kepada Rasulullah saw. “Boleh, sebab mereka juga makhluk Allah, dan Allah akan menerima sedekah kita”, jawab Rasulullah saw sambil bangga atas inisiatif sahabat-nya.
“Bukankah dia manusia?” kata ini penting, sebab darinya kita membangun konsep hubungan antar manusia. Saling menghargai, menghormati, dan menumbuhkan saling pengertian. Diatas bangunan kata itu tidak ada lagi Kami dan Mereka. Yang ada kita “manusia”. Diatas kata itu pula, hilang segala sekat yang biasanya membatasi hubungan kita dengan orang orang yang berbeda, baik agama, budaya, setatus social, dan lain sebaginya. “Bukankah dia manusia”, adalah kata yang mendobrak segala kebekuan yang ada, yang mengembangkan sikap toleran dalam hati kita. Agar secara adil menghadapi manusia tanpa memandang siapa dia, termasuk juga agamanya apa! Sejak dini bahkan rasul junjungan telah mencontohkan itu dalam hidupnya..
Seorang yahudi, yang tiap hari melempari kotoran kearah rasulullah, mencaci dan menyakiti. Terbelalak matanya Karena justru orang yang pertama sekali menjenguknya saat dia sakit adalah orang yang teramat dibencinya. Karena itulah lalu yahudi tersebut dengan bergetar hatinya berkata; “Demi Allah, budi pekertimu sungguh mencerminkan akhlaknya para nabi. Maka, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan engkau adalah utusan ALLAH”. “Bukankah dia manusia”. Kata ini telah menjadi konsep; bagaimana rasulullah bergaul dengan orang-orang yang berbeda, konsep tersebut terbukti bukan hanya manis di mulut tapi kosong dari perbuatan nyata. “bukankah dia manusia” telah melahirkan satu sikap indah untuk berlapang dada dengan orang yang berbeda, bahkan sampaipun berbeda keyakinan.
Suatu ketika rombongan 60 orang nasrani kota Najran tiba di Madinah al-Munawarah. Rasulullah kebetulan sedang ada di rumah. Pada saat Ashar, mereka masuk ke Masjid Nabawi, dimana Rasulullah berada. Mereka menunaikan sembahyang di dalam masjid. Spontan saja banyak orang yang ingin mencegah mereka. Tetapi dengan sigap, rasulullah bersabda “Biarkanlah mereka menghadap ke arah timur untuk menunaikan sembahyangnya”. Betapa indah sikap rasulullah terhadap keyakinan orang lain, beliau tetap menghormatinya.
Ahmad Shawi men-ceritakan dalam tafsir-nya, Abu Hushain (sahabat Anshar) mempunyai dua anak laki-laki beragama Nashrani. Di saat kedua anak-nya berjualan ke Madinah, ia menemui keduanya. Abu Hushain sangat mengingin-kan kedua anaknya masuk Islam. Dengan keadaan memaksa sambil emosi Hushain memboyong kedua anaknya kepada Rasulullah saw seraya berkata: “Ya Rasulullah, pantaskah di antara kami sebagainnya masuk neraka?” sambil menunjuk kedua anaknya dengan kesal. Namun Rasulullah saw diam. Maka di saat peristiwa itu turun ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 156: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”. bahkan Rasulullah tidak memaksakan orang tua untuk memaksa keyakinan anaknya sama dengan keyakinan orang tuanya. Apalagi memaksa keyakinan orang lain. Begitulah toleransi yang diajarkan oleh Islam.
Hari ini, Islam yang sejak kehadirannya telah hidup damai berdampingan dengan masyarakat yang plural itu hendak dinistakan. Islam yang sejak hadirnya menyebarkan rasa damai di hati manusia itu dianggap sebagai agama yang meracuni ummatnya untuk memaksakan kebenaran yang diyakininya kepada ummat lain. Islam yang lahir dengan toleransi itu hendak diajari bagaimana seharusnya toleransi. Islam yang menumbuhkan sikap tasamuh, berlapang dada dengan keyakinan orang lain, Islam yang mengajarkan ummatnya untuk tidak memaksa keyakinan di hati orang-orang yang tidak menghendaki itu telah berkali-kali dihujat. Islam yang memiliki ajaran “laa ikraaha fi diin” itu dianggap sebagai candu yang membahayakan peradaban manusia, sehingga harus dilawan habis habisan. Seperti apa yang dikatakan Chatto and windus yang dikutip nurcholish madjid dalam pidatonya saat memperingati 20 thn Pembaharuan Islam di Taman Ismail Marzuki tgl 21 oktober 1992
“.. tetapi agama jauh lebih berbahaya daripada candu. Agama tidak membuat orang tertidur. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengagungkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas perasaan dan pendapat orang lain, untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri pemilik kebenaran” lebih jauh Nurcholish Madjid mengatakan “semakin orang yakin kepada agamanya, adalah semakin baik; tapi justru “orang baik” itu semakin kuat membenarkan dirinya untuk tidak toleran kepada orang lain, bahkan merasa berhak mengejar-ngejar orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Ia justru menjadi sumber keonaran sendiri”
Dalam hal ini nurcholish ingin mengatakan, bahwa jika kita beragama dengan baik, meniru apa yang dilakukan rasulullah, meniru bagaimana rasulullah bergaul dengan pemeluk agama yang berbeda, bagaimana rasulullah mensikapi pemeluk keyakinan yang berbeda, kita akan menjadi sumber keonararn karena merasa benar sendiri! Karena itulah maka kelompok Islam Liberal yang lahir dari ide yang digulirkan oleh Nurcholsih Madjid dengan Islam Inklusivenya, gencar menyerukan agar ummat Islam tidak merasa paling benar sendiri, dan mengakui adanya kebenaran pada agama-agama yang lain, yang kemudian itu semua kita kenal dengan istilah Pluralisme Agama.
“Untuk tolerant tidak harus dengan pluralisme agama” Tulis Dr. Hamid Fahmy Zarkasy dalam majalah Hidayatullah. Hal tersebut senada dengan toleransi Rasulullah kepada mereka yang berbeda keyakinan. Bahwa toleransi rasulullah kepada mereka tidak menjadikan rasulullah membenarkan apa yang menjadi keyakinan mereka. Seperti pada kasus 60 nasrani dari kota Najran yang tertulis diatas. dalam dialog antara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan utusan Najran itu tidak ada "kese-pakatan" karena mereka tetap menganggap bahwa Isa adalah "anak Tuhan" dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berpegang teguh bahwa Isa adalah utusan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sebagai Nabiyullah, Isa adalah manusia biasa. Para utusan itu tetap dijamu oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa hari. Beliau menganjurkan toleransi antar sesama umat lainnya. Namun berbeda dalam memper-tahankan aqidah. Ketika beliau diajak oleh orang kafir untuk saling menukar waktu, tempat dan bergantian menyembah tuhan, beliau menjawab tegas: “LAKUM DÎNUKUM WALIYADÎN” (Agama kamu untukmu dan agamaku untukku).
Islam dengan masa lalunya telah memberikan contoh toleransi yang sangat komplit. Ajaran itu kemudian menjadi worldview Islam bagaimana membangun peradabannya ditengah peradaban-peradaban yang lain. Sebab jika kita lihat dari sejarah, bukannya Islam yang tidak kenal toleransi, melainkan Peradaban Barat dimana orang-orang liberal belajar untuk toleransi dengan paham pluralism agamanya itu yang tidak pernah memiliki konsep toleransi. Hal tersebut bahkan bisa dilacak sejak pertama sekali peradaban Islam bersentuhan dengan peradaban Barat. Dr. Gustav lypon dalam bukunya “Peradaban Arab” mengatakan “Pembaca akan menemukan ulasan saya mengenai peperangan bangsa Arab dan sebab musabab di balik kemenangan mereka. Bahwa kekuatan (power) tidak selamanya menjadi factor penentu tersebarnya ajaran al-Qur’an. Bangsa Arab (kaum Muslimin) membiarkan orang-orang yang pernah memerangi negeri mereka hidup dengan bebas dalam menjalankan keyakinan agamanya. Jika ada sebagian ummat kristiani yang memeluk Islam dan menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa kesahariannya, hal itu mungkin terjadi karena prinsip mereka yang melihat adanya keadilan di kalangan Arab yang tidak ditemukan di kalangan mereka, kaum non-muslim. Mungkin juga karena mereka tertarik dengan sikap toleransi dan keramah tamahan yang ditampakan Islam, dimana kedua sikap itu tidak dikenal dalam agama-agama selainnya”
Terakhir, masihkah kita terpesona dengan dagangan Barat melalui Pluralisme Agama yang digambar-gemborkan oleh kalangan Islam Liberal agar menjadi cara pandang hidup ummat Islam, supaya bisa hidup toleran dan berdampingan dengan agama-agama yang lain. Padahal ajaran toleransi itu justru bersumber dan lahir dari rahim Islam yang dicontohkan dengan sangat sempurna oleh junjungan kita Nabi besar Muhammad Saw, dan bukan dari Barat yang baru belajar untuk tolerant? atau jangan-jangan mereka (Orang-orang liberal) itu tidak paham apa itu Pluralisme Agama?
Wallahu a’lamu bishawaab.
sumber: http://hasnasyadza.multiply.com/journal/item/212/TOLERANSI_RASULULLAH_DAN_PLURALISME_AGAMA
Metode Software Penguji
12 years ago
0 comments:
Post a Comment