Pertama, hindari semua hal yang menyebabkan ketidak-absahan
akad nikah.
Karena itu, pastikan kedua mempelai saling ridha dan tidak
ada unsur paksaan, pastikan adanya wali pihak wanita, saksi dua orang yang
amanah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا نِكَاح إِلا بوَلِي
وشَاهِدي عَدلٍ
“Tidak sah nikah, kecuali dengan wali (pihak wanita) dan dua
saksi yang adil (amanah).” (HR. Turmudzi dan lainnya serta dishahihkan
Al-Albani)
Kedua, dianjurkan adanya khutbatul hajah sebelum akad nikah.
Yang dimaksud khutbatul hajah adalah bacaan:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ
وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ شُرُورِ
أَنْفُسِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ
فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلاَ هَادِىَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا ( اتَّقُوا اللَّهَ الَّذِى تَسَاءَلُونَ
بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا) (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ)
( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ
لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ
يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ
فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
Dalil anjuran ini adalah hadis dari Abdullah bin Mas’ud
radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
عَلَّمَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطْبَةَ الْحَاجَةِ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ
نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ شُرُورِ
أَنْفُسِنَا….
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami khutbatul
hajah…-sebagaimana lafadz di atas – …(HR. Abu Daud 2118 dan dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani).
Syu’bah (salah satu perawi hadis) bertanya kepada gurunya
Abu Ishaq, “Apakah ini khusus untuk khutbah nikah atau boleh dibaca pada
kesempatatan yang lainnya.” “Diucapkan pada setiap acara yang penting.” Jawab Abu Ishaq.
Sebagian orang beranggapan dianjurkannya mengucapkan khutbah
ini ketika walimah, meskipun acara walimah tersebut dilaksanakan setelah kumpul
suami istri. Namun yang tepat –wallahu
a’lam– anjuran mengucapkan khutbatul hajah sebagaimana ditunjukkan hadis Ibn
Mas’ud radhiallahu ‘anhu adalah sebelum akad nikah bukan ketika walimah.
(A’unul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud, 5:3 dan Tuhafatul Ahwadzi Syarh Sunan
Turmudzi, 4:201). Wallahu a’lam.
Ketiga, tidak ada anjuran untuk membaca syahadat ketika
hendak akad, atau anjuran untuk istighfar sebelum melangsungkan akad nikah,
atau membaca surat Al-Fatihah. Semua itu
sudah diwakili dengan lafadz khutbatul hajah di atas. Tidak perlu calon
pengantin diminta bersyahadat atau istighfar.
Keempat, hendaknya pengantin wanita tidak ikut dalam majlis
akad nikah. Karena umumnya majlis akad nikah dihadiri banyak kaum lelaki yang
bukan mahramnya, termasuk pegawai KUA. Pengantin wanita ada di lokasi itu,
hanya saja dia dibalik tabir. Karena pernikahan dilangsungkan dengan wali si
wanita. Allah Ta’ala mengajarkan,
وَإِذَا
سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ
ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(wanita yang bukan mahram), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al-Ahzab: 53)
Semua orang tentu menginginkan hatinya lebih suci, sebagaimana
yang Allah nyatakan. Karena itu, ayat ini tidak hanya berlaku untuk para istri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tapi juga untuk semua mukmin.
Jika dalam kondisi normal dan ada lelaki yang hendak
menyampaikan kebutuhan atau hajat tertentu kepada wanita yang bukan mahram,
Allah syariatkan agar dilakukan di balik hijab maka tentu kita akan memberikan
sikap yang lebih ketat atau setidaknya semisal untuk peristiwa akad nikah.
Karena umumnya dalam kondisi ini, pengantin wanita dalam keadaan paling menawan
dan paling indah dipandang. Dia didandani dengan make up yang tidak pada
umumnya dikenakan.
Kesalahan yang banyak tersebar di masyarakat dalam hal ini,
memposisikan calon pengantin wanita berdampingan dengan calon pengantin lelaki
ketika akad. Bahkan keduanya diselimuti dengan satu kerudung di atasnya.
Bukankah kita sangat yakin, keduanya belum berstatus sebagai suami istri
sebelum akad? Menyandingkan calon pengantin, tentu saja ini menjadi pemandangan
yang bermasalah secara syariah. Ketika Anda sepakat bahwa pacaran itu haram,
Anda seharusnya sepakat bahwa ritual semacam ini juga terlarang.
Kelima, tidak ada lafadz khusus untuk ijab qabul. Dalam
pengucapn ijab kabul, tidak disyaratkan menggunakan kalimat tertentu dalam ijab
kabul. Akan tetapi, semua kalimat yang dikenal masyarakat sebagai kalimat ijab
kabul akad nikah maka status nikahnya sah.
Lajnah Daimah ditanya tentang lafadz nikah. Mereka menjawab,
Semua kalimat yang menunjukkan ijab Kabul, maka akad
nikahnya sah dengan menggunakan kalimat tersebut, menurut pendapat yang lebih
kuat. Yang paling tegas adalah kalimat: ‘zawwajtuka’ dan ‘ankahtuka’ (aku
nikahkan kamu), kemudian ‘mallaktuka’ (aku serahkan padamu). (Fatawa Lajnah
Daimah, 17:82).
Keterangan selengkapnya bisa Anda dapatkan di:
https://konsultasisyariah.com/ijab-kabul-akad-nikah/
Keenam, hindari bermesraan setelah akad di tempat umum
Pemandangan yang menunjukkan kurangnya rasa malu sebagian
kaum muslimin, bermesraan setelah akad nikah di depan banyak orang. Kita
sepakat, keduanya telah sah sebagai suami istri. Apapun yang sebelumnya
diharamkan menjadi halal. Hanya saja, Anda tentu sadar bahwa untuk melampiaskan
kemesraan ada tempatnya sendiri, bukan di tempat umum semacam itu.
Bukankah syariah sangat ketat dalam urusan syahwat?
Menampakkan adegan semacam ini di muka umum, bisa dipastikan akan mengundang
syahwat mata-mata masyarakat yang ada di sekitarnya. Hadis berikut semoga bisa
menjadi pelajaran penting bagi kita.
Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhuma beliau menceritakan:
Fadhl bin Abbas (saudaranya Ibn Abbas) pernah membonceng
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di belakang beliau, karena tunggangan Fadhl
kecapekan. Fadhl adalah pemuda yang cerah wajahnya. Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berhenti di atas tunggangannya, untuk menjawab pertanyaan
banyak sahabat yang mendatangi beliau. Tiba-tiba datang seorang wanita dari
Bani Khats’am, seorang wanita yang sangat cerah wajahnya untuk bertanya kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abbas melanjutkan,
فَطَفِقَ
الفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا، وَأَعْجَبَهُ حُسْنُهَا، فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَالفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا، فَأَخْلَفَ بِيَدِهِ فَأَخَذَ بِذَقَنِ الفَضْلِ، فَعَدَلَ وَجْهَهُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهَا
Maka Fadhl-pun langsung mengarahkan pandangan kepadanya, dan
takjub dengan kecantikannya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memalingkan wajah beliau, namun Fadhl tetap mengarahkan pandangannya ke wanita
tersebut. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang rahang Fadhl dan
memalingkan wajahnya agar tidak melihat si wanita…. (HR. Bukhari, no.6228)
Bagaimana sikap orang yang bertaqwa sekelas Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau tidak mengandalkan taqwanya, merasa yakin tidak
mungkin terpengaruh syahwat, dst.. Beliau juga tidak membiarkan pemuda yang ada
didekatnya untuk melakukan kesalahan itu. Beliau palingkan wajahnya. Apa latar
belakangnya? Tidak lain adalah masalah syahwat. Apa yang bisa Anda katakan
untuk kasus bermesraan pasca-akad nikah di tempat umum? Tentu itu lebih
mengundang syahwat.
Ketujuh, adakah anjuran akad nikah di masjid?
Terdapat hadis yang menganjurkan untuk mengadakan akad nikah
di masjid, hadisnya berbunyi:
” أعلنوا
هذا النكاح و اجعلوه
في المساجد ، و
اضربوا عليه بالدفوف”
“Umumkan pernikahan, adakan akad nikah di masjid dan
meriahkan dengan memukul rebana.” (HR. At Turmudzi, 1:202 dan Baihaqi, 7:290)
Hadis dengan redaksi lengkap sebagaimana teks di atas
statusnya dhaif. Karena dalam sanadnya ada seorang perawi bernama Isa bin
Maimun Al Anshari yang dinilai dhaif oleh para ulama, di antaranya Al Hafidz
Ibn Hajar, Al Baihaqi, Al Bukhari, dan Abu Hatim. Akan tetapi, hadis ini
memiliki penguat dari jalur yang lain hanya saja tidak ada tambahan “..Adakan
akad tersebut di masjid..”. Maka potongan teks yang pertama untuk hadis ini,
yang menganjurkan diumumkannya pernikahan statusnya shahih. Sedangkan potongan teks
berikutnya statusnya mungkar. (As Silsilah Ad Dla’ifah, hadis no. 978).
Karena hadisnya dhaif, maka anjuran pelaksanaan walimah di
masjid adalah anjuran yang tidak berdasar. Artinya syariat tidak memberikan
batasan baik wajib maupun sunah berkaitan dengan tempat pelaksanaan walimah
nikah. Syaikh Amr bin Abdul Mun’im Salim mengatakan, “Siapa yang meyakini
adanya anjuran melangsungkan akad nikah di masjid atau akad di masjid memiliki
nilai lebih dari pada di tempat lain maka dia telah membuat bid’ah dalam agama
Allah.” (Adab Al Khitbah wa Al Zifaf, Hal.70)
Kedelapan, dianjurkan untuk menyebutkan mahar ketika akad
nikah.
Tujuan dari hal ini adalah menghindari perselisihan dan
masalah selanjutnya. Dan akan lebih baik lagi, mahar diserahkan di majlis akad.
Meskipun ulama sepakat, akad nikah tanpa menyebut mahar statusnya sah.
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan:
أَنَّ ذِكْرَ الْمَهْرِ فِي
الْعَقْدِ لَيْسَ شَرْطًا لِصِحَّةِ
النِّكَاحِ فَيَجُوزُ إِخْلاَءُ النِّكَاحِ عَنْ تَسْمِيَتِهِ بِاتِّفَاقِ
الْفُقَهَاءِ
Menyebut mahar ketika akad bukanlah syarat sah nikah. Karena
itu, boleh nikah tanpa menyebut mahar dengan sepakat ulama. (Mausu’ah fiqhiyah
Kuwaitiyah, 39:151)
Hanya saja, penyebutan mahar dalam akad nikah akan semakin
menenangkan kedua belah pihak, terutama keluarga.
Kesembilan, dianjurkan mengikuti prosedur administrasi akad
nikah, sebagaimana yang ditetapkan KUA. Ini semua dalam rangka menghindari
timbulnya perselisihan dan masalah administrasi negara. Hanya saja, sebisa
mungkin proses pernikahan dimudahkan dan tidak berbelit-belit. Semakin mudah
akad nikah, semakin baik menurut kaca mata syariah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
خير النكاح أيسره
“Nikah yang terbaik adalah yang paling mudah.” (HR. Ibnu
Hibban dan dishahihkan Al-Albani)
Sifat mudah ini mencakup masalah nilai mahar, tata cara
nikah, proses akad, dst.
Kesepuluh, tidak ada anjuran untuk melafadzkan ijab kabul
dalam sekali nafas, sebagaimana anggapan sebagian orang. Karena inti dari ijab
qabul akad nikah adalah pernyataan masing-masing pihak, bahwa wali pengantin
wanita telah menikahkan putrinya dengannya, dan pernyataan kesediaan dari
pengantin laki-laki.
Mengharuskan akad nikah dan ijab kabul dengan harus satu
nafas bisa disebut pemaksaan yang berlebihan.
Kesebelas, doa selepas akad nikah.
Dianjurkan bagi siapapun yang hadir ketika peristiwa itu,
untuk mendoakan pengantin. Di antara lafadz doa yang dianjurkan untuk dibaca
adalah
بَارَكَ
اللَّهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ
وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي الْخَيْرِ
“Semoga Allah memberkahimu di waktu senang dan memberkahimu
di waktu susah, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.”
Dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
أن النبى صلى الله
عليه وسلم :” كَانَ
إِذَا رَفَّأَ الْإِنْسَانَ إِذَا
تَزَوَّجَ قَالَ بَارَكَ اللَّهُ
لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي الْخَيْرِ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak
memberikan ucapan selamat kepada orang yang menikah, beliau mendoakan:
baarakallahu laka…dst.” (HR. Turmudzi, Abu Daud dan dishahihkan Al-Albani)
Dari A’isyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan,
تَزَوَّجَنِي
النَّبِيُّ صلى الله عليه
وسلم فَأَتَتْنِي
أُمِّي فَأَدْخَلَتْنِي الدَّارَ فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنَ
الْأَنْصَارِ فِي الْبَيْتِ فَقُلْنَ
عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku, kemudian ibuku
mendatangiku dan mengajakku masuk ke dalam rumah. Ternyata di dalamnya terdapat
banyak wanita Anshar. Mereka semua mendoakan kebaikan, keberkahan karena
keberuntunganku. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi
Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Sumber : https://konsultasisyariah.com/11224-adab-adab-dalam-akad-nikah.html
0 comments:
Post a Comment