Larangan Berpuasa di Hari Raya
Dari Abu Sa’id al-Khudzri radliallahu ‘anhu,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- نَهَى
عَن صيَام يَومَينِ يَومِ
الفِطرِ و يَومِ النَّحرِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa pada dua
hari: hari Idul Fitri dan Idul Adha. (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi mengatakan: “Para ulama telah sepakat tentang
haramnya puasa di dua hari raya sama sekali. Baik puasanya itu puasa nadzar,
puasa sunah, puasa kaffarah, atau puasa yang lainnya. (Syarah Shahih Muslim
karya an-Nawawi, 8/15)
Hukum Shalat Id
Shalat Id hukumnya wajib bagi setiap muslim. Ini adalah
pendapat Imam Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat yang
dipilih oleh Syaikhul Islam dan Ibnul Qoyim. Dalil pendapat ini adalah sebagai
berikut:
1. Kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
melaksanaknnya. Karena sejak shalat Id ini disyariatkan pada tahun kedua
hijriyah, beliau senantiasa melaksanakannya sampai beliau meninggal
2. Kebiasaan para khulafa ar-Rosyidin setelah wafatnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa shalat Id merupakan ibadah
yang sangat disyariatkan dalam Islam.
3. Hadis Ummu ‘Athiyah radliallahu ‘anha, bahwa beliau
mengatakan: Kami diperintahkan untuk mengajak keluar gadis yang baru baligh,
gadis-gadis pingitan, dan orang-orang haid untuk menghadiri shalat Idul Fitri
dan Idul Adha….(HR. Bukhari dan Muslim)
Adanya perintah menunjukkan bahwa itu wajib, karena hukum
asal perintah adalah wajib
4. Shalat Id merupakan salah satu syiar Islam yang paling
besar.
Adab Shalat Hari Raya
1. Mandi pada Hari Id
Dari Nafi’, beliau mengatakan
أن عبد الله بن
عمر كان يغتسل يوم
الفطر قبل أن يغدو
إلى المصلى
bahwa Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma mandi pada hari Idul
Fitri sebelum berangkat ke lapangan. (HR. Malik dan asy-Syafi’i dan sanadnya
shahih)
Al-Faryabi menyebutkan bahwa Said bin al-Musayyib
mengatakan:
سنة الفطر ثلاث : الـمَشْي
إِلى الـمُصَلى ، و الأَكل
قَبل الخُروج، والإِغتِسال
“Sunah ketika Idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan,
makan sebelum keluar (menuju lapangan), dan mandi. (Ahkamul Idain karya
al-faryabi dan sanadnya dishahihkan al-Albani)
Catatan: Dibolehkan untuk memulai mandi hari raya sebelum
atau sesudah subuh. Ini adalah pendapat yang kuat dalam Madzhab Syafi’i dan
pendapat yang dinukil dari imam Ahmad. Allahu a’lam.
2. Berhias dan Memakai Wewangian
Dari Ibnu Abbas, bahwa pada suatu saat di hari Jumat, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ هَذَا يَومُ عِيدٍ
جَعَلهُ الله لِلمُسلِمِينَ فمَن
جاءَ إلى الـجُمعةِ فَليَغتَسِل
وَإِن كانَ عِندَه طِيبٌ
فَليَمسَّ مِنهُ وَعَلَيكُم بِالسِّواكِ
“Sesungguhnya hari ini adalah hari raya yang Allah jadikan
untuk kaum muslimin. Barangsiapa yang hadir jumatan, hendaknya dia mandi. Jika
dia punya wewangian, hendaknya dia gunakan, dan kalian harus gosok gigi.” (HR.
Ibn Majah dan dihasankan al-Albani)
3. Memakai Pakaian yang Paling Bagus
Dari Jabir bin Abdillah, beliau mengatakan:
كانت للنبي -صلى الله
عليه وسلم- جُبّة يَلبسُها
فِي العِيدَين ، وَ يَوم
الـجُمعَة
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki jubah yang
beliau gunakan ketika hari raya dan hari Jumat.” (HR. Ibn Khuzaimah dan kitab
shahihnya)
Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan: Umar bin Khathab pernah
mengambil jubah dari sutra yang dibeli di pasar. Kemudian dia datang kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Ya Rasulullah, saya membeli ini, sehingga
engkau bisa berhias dengannya ketika hari raya dan ketika menyambut tamu. Namun
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya karena baju itu terbuat dari
sutra. (HR. Bukhari, Muslim, dan an-Nasa’i)
Imam as-Sindi mengatakan: “…dari hadis disimpulkan bahwa
berhias ketika hari raya merupakan kebiasaan yang mengakar di kalangan mereka
(Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat). Dan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya, yang artinya kebiasaan itu tetap
belaku… (Hasyiah as-Sindy ‘ala an-Nasa’i, 3:181)
4. Tidak Makan Sampai Pulang dari Shalat Idul Adha dengan
Daging Kurban
Dari Buraidah, beliau berkata:
لاَ يَـخرجُ يَومَ الفِطرِ
حَتَّى يَطعَمَ ولاَ يَطعَمُ
يَومَ الأَضْحَى حَتَّى يُصلِّىَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berangkat menuju
shalat Idul Fitri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan ketika Idul Adha,
beliau tidak makan sampai shalat dahulu. (HR. At Turmudzi, Ibn Majah, dan
dishahihkan al-Albani)
5. Menuju lapangan sambil berjalan dengan penuh ketenangan
dan ketundukan
Dari sa’d radliallahu ‘anhu,
أنَّ النَّبـىَّ -صلى الله عليه
وسلم- كانَ يَـخْرج إلَى
العِيد مَاشِيًا وَيَرجِعُ مَاشِيًا
Bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju
lapangan dengan berjalan kaki dan beliau pulang juga dengan berjalan. (HR. Ibn
majah dan dishahihkan al-Albani)
Waktu Shalat Id
Dari Yazid bin Khumair, beliau mengatakan: suatu ketika
Abdullah bin Busr, salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
keluar bersama masyarakat menuju lapangan shalat Id. Kemudian beliau
mengingkari keterlambatan imam. Beliau mengatakan:
إِنّا كُنّا قَد فَرَغنَا
سَاعَتَنَا هَذه و ذلكَ
حِينَ التَّسبِيح
“Kami dulu telah selesai dari kegiatan ini (shalat Id) pada
waktu dimana shalat sunah sudah dibolehkan.” (HR. Bukhari secara mu’allaq dan
Abu Daud dengan sanad shahih)
Keterangan: maksud: “waktu dimana shalat sunah sudah
dibolehkan”: setelah berlalunya waktu larangan untuk shalat, yaitu ketika
matahari terbit.
Imam Ibnul Qoyim mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengakhirkan shalat Idul Fitri dan menyegerahkan shalat Idul Adha.
Sementara Ibnu Umar -orang yang sangat antusias mengikuti sunah- tidak keluar
menuju lapangan sampai matahari terbit. Beliau melantunkan takbir sejak dari
rumah sampai tiba di lapangan. (Zadul Ma’ad, 1:425)
Syaikh Abu Bakr al-Jazairi mengatakan: Waktu mulainya shalat
Id adalah sejak matahari naik setinggi tombak sampai tergelincir. Namun yang
lebih utama adalah shalat Idul Adha dilaksanakan di awal waktu, sehingga
memungkinkan bagi masyarakat menyelesaikan sembelihannya dan mengakhirkan
pelaksanaan sahalat Idul Fitri, sehingga memungkinkan bagi masyarakat untuk
membagikan zakat fitrinya. (Minhajul Muslim, hal. 278)
Tempat Pelaksanaan Shalat Id
1. Ketika di Mekah
Tempat pelaksanaan shalat Id di Mekah yang paling afdhal
adalah di Masjidil Haram. Karena semua ulama senantiasa melaksanakan shalat Id
di masjidil haram ketika di makah.
Imam an-Nawawi mengatakan: …ketika di Mekah, maka masjidil
haram paling afdhal (untuk tempat shalat Id) tanpa ada perselisihan di kalangan
ulama. (al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, 5:524)
2. Di Luar Mekah
Tempat shalat Id yang sesuai sunah adalah lapangan. Kecuali
jika ada halangan seperti hujan atau halangan lainnya.
Dari Abu Sa’id al-Khudri,
كَانَ رَسُول الله -صلى
الله عليه وسلم- يَـخْرجُ
يَومَ الفِطرِ و الأَضحَى
إلَى الـمُصلَّى، فَأَوَّلُ شَىْءٍ يَبْدَأ بِهِ
الصَّلاةُ
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju
lapangan ketika Idul Fitri dan Idul Adha. Pertama kali yang beliau lakukan
adalah shalat Id. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnul Haj al-Makki mengatakan: …sunah yang berlaku sejak
dulu terkait shalat Id adalah dilaksanakan di lapangan. Karena nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Shalat di masjidku (masjid nabawi) lebih utama
dari pada seribu kali shalat di selain masjidku, kecuali masjidil haram.”
meskipun memiliki keutamaan yang sangat besar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tetap keluar menuju lapangan dan meninggalkan masjid. (al-Madkhal,
2:438)
Catatan:
Dianjurkan bagi imam untuk menunjuk salah seorang agar
menjadi imam shalat Id di masjid bagi orang yang lemah -tidak mampu keluar
menuju lapangan-, sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abi Thalib radliallahu
‘anhu, yang diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah
Adab Ketika Menuju Lapangan
1. Berangkat dan pulangnya mengambil jalan yang berbeda
Dari Jabir bin Abdillah radliallahu ‘anhuma,
إِذا كانَ يَومُ عِيدٍ
خَالَفَ الطَّريقَ
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hari raya
mengambil jalan yang berbeda (ketika berangdan dan pulang). (HR. Bukhari)
2. Dianjurkan bagi makmum untuk datang di lapangan lebih
awal. Adapun imam, dianjurkan untuk datang agak akhir sampai waktu shalat
dimulai. Karena imam itu ditunggu bukan menunggu. Demikianlah yang terjadi di
zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat
3. Bertakbir sejak dari rumah hingga tiba di lapangan
Termasuk sunah, bertakbir di jalan menuju lapangan dengan
mengangkat suara. Adapun para wanita maka dianjurkan tidak mengeraskannya,
sehingga tidak didengar laki-laki. Dalil lainnya:
a. Riwayat yang shahih dari Ibnu Umar, bahwa beliau
mengeraskan bacaan takbir pada saat Idul Fitri dan Idul Adha ketika menuju
lapangan, sampai imam datang. (HR. ad-Daruquthni dan al-Faryabi dan dishahihkan
al-Albani)
b. Riwayat dari Muhammad bin Ibrahim, bahwa Abu Qotadah
radliallahu ‘anhu berangkat shalat Id dan beliau bertakbir hingga tiba di
lapangan. (HR. al-Faryabi dalam Ahkamul Idain)
4. Tidak boleh membawa senjata, kecuali terpaksa
Dari Said bin Jubair, beliau mengatakan: Kami bersama Ibnu
Umar, tiba-tiba dia terkena ujung tombak di bagian telapak kakinya. Maka aku pun
turun dari kendaraan dan banyak orang menjenguknya. Ada orang yang bertanya:
Bolehkah kami tau, siapa yang melukaimu? Ibnu Umar menunjuk orang itu: Kamu
yang melukaiku. Karena kamu membawa senjata di hari yang tidak boleh membawa
senjata…(HR. Bukhari)
Al-Hasan al-Bashri mengatakan: Mereka dilarang untuk membawa
senjata di hari raya, kecuali jika mereka takut ada musuh. (HR. Bukhari secara
mu’allaq)
Wanita Haid Tetap Berangkat ke Lapangan
Disyariatkan bagi wanita untuk berangkat menuju lapangan
ketika hari raya dengan memperhatikan adab-adab berikut:
Memakai jilbab sempurna (hijab)
Dari Ummu ‘Athiyah radliallahu ‘anha mengatakan:
أمرنا رسول الله -صلى
الله عليه وسلم- أن
نخرجهن في الفطر والأضحى:
العواتق، والحيض، وذوات الخدور،
فأما الحيض فيعتزلن الصلاة،
ويشهدن الخير ودعوة المسلمين
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami
untuk mengajak keluar gadis yang baru baligh, gadis-gadis pingitan, dan
orang-orang haid untuk menghadiri shalat Idul Fitri dan Idul Adha…. Saya
bertanya: Ya Rasulullah, ada yang tidak memiliki jilbab? Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya saudarinya meminjamkan jilbabnya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Syarat Wanita Berangkat ke Lapangan
Pertama, Tidak memakai minyak wangi dan pakaian yang
mengundang perhatian
Dari zaid bin Kholid Al Juhani radliallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تـمنَــعوا إماءَ الله الـمسَاجدَ،
و ليَخرُجنَ تَفلاَتٍ
“Janganlah kalian melarang para wanita untuk ke masjid. Dan
hendaknya mereka keluar dalam keadaan tafilaat.” (HR. Ahmad, Abu daud dan
dishahihkan al-Albani)
Keterangan: Makna “tafilaat” : tidak memakai winyak wangi
dan tidak menampakkan aurat
Kedua, Tidak boleh bercampur dengan laki-laki
Ummu Athiyah mengatakan:
فليكن خلف الناس يكبرنّ
مع الناس
Hendaknya mereka berjalan di belakang laki-laki dan
bertakbir bersama mereka. (HR. Muslim)
Sunah-sunah Ketika di Lapangan
1. Mengeraskan bacaan takbir sampai imam datang (mulai
shalat)
Dari Nafi’,
كان ابنُ عُمر يـخرج
يوم العيد إلى المصلى
فيكبر ويرفع صوته حتى
يَأتِي الإمام
Bahwa Ibnu Umar beliau mengeraskan bacaan takbir pada saat
Idul Fitri dan Idul Adha ketika menuju lapangan, sampai imam datang. (HR.
ad-Daruquthni dan al-Faryabi dan dishahihkan al-Albani)
Dari al-Walid, bahwa beliau bertanya kepada al-Auza’i dan
Imam Malik tentang mengeraskan takbir ketika hari raya. Keduanya menjawab: Ya,
boleh. Abdullah bin Umar mengeraskan takbir ketika Idul Fitri sampai imam
keluar. (HR. al-Faryabi)
2. Tidak ada adzan dan qamat ketika hendak shalat
Dari Jabir bin samurah radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
صليت مع رسول الله
-صلى الله عليه وسلم-
العيدين غير مرة ولا
مرتين بغير أذان ولا
إقامة
Saya shalat hari raya bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam beberapa kali, tidak ada adzan dan qamat. (HR. Muslim)
Ibnu Abbas dan jabir bin Abdillah mengatakan: Tidak ada
adzan ketika Idul Fitri dan tidak juga Idul Adha. (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Tidak ada shalat sunah qabliyah dan ba’diyah di lapangan
Dari Ibn abbas,
أَنَّ النَّبِىّ -صلى الله عليه
وسلم- خَرجَ يَومَ الفِطرِ،
فَصلَّى رَكعَتَينِ لَـم يُصَلّ قَبلَهَا
و لا بَعدَهَا
و مَعَهُ بِلاَلٌ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju lapangan ketika
Idul Fitri, kemudian shalat dua rakaat. Tidak shalat sunah sebelum maupun
sesudahnya. Dan beliau bersama Bilal. (HR. Bukhari dan al-baihaqi)
Imam Ibnul Qoyim mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam maupun para sahabat, tidaklah melakukan shalat apapun setelah mereka
sampai di lapangan. Baik sebelum shalat Id maupun sesudahnya. (Zadul Ma’ad,
1/425)
Catatan:
1. Dibolehkan untuk melaksanakan shalat sunah setelah tiba
di rumah
Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak melaksanakan shalat sunah apapun sebelum shalat Id. Setelah pulang
ke rumah, beliau shalat dua rakaat. (HR. Ibn Majah dan dishahihkan Al Albnai)
2. Orang yang shalat Id di masjid, tetap disyariatkan untuk
melaksanakan shalat tahiyatul masjid, mengingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
إذا دخل أحدكم المسجد
فلا يجلس حتى يصلي
ركعتين
:Apabila kalian masuk masjid maka jangan duduk sampai shalat
dua rakaat.” demikian penjelasan Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Shalatul idain
karya Sa’id al-Qohthoani)
Tata Cara Shalat Id
Pertama, sutrah (pembatas shalat) bagi imam
Dari Ibnu Umar radliallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika menuju lapangan pada hari raya, beliau perintahkan
untuk menancapkan bayonet di depan beliau, kemudian beliau shalat menghadap ke
benda tersebut. (HR. Bukhari)
Kedua, Shalat id dua rakaat
Umar bin Khotob mengatakan:
صلاة الجمعة ركعتان، وصلاة
الفطر ركعتان،وصلاة الأضحى ركعتان
“Shalat Jumat dua rakaat, shalat Idul Fitri dua rakaat,
shalat Idul Adha dua rakaat…” (HR. Ahmad, an-Nasa’i dan dishahihkan al-Albani)
Ketiga, Shalat dilaksanakan sebelum khutbah
Dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: Saya
mengikuti shalat Id bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu
bakar, Umar, dan Utsman radliallahu ‘anhum, mereka semua melaksanakan shalat
sebelum khhutbah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, takbir ketika shalat Id
takbiratul ihram di rakaat pertama, lalu membaca do’a
iftitah, kemudian bertakbir tujuh kali. Di rakaat kedua, setelah takbir intiqal
berdiri dari sujud, kemudian bertakbir 5 kali
Dari Aisyah radliallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bertakbir ketika Idul Fitri dan Idul Adha, di rakaat pertama:
7 kali takbir dan lima kalli takbir di rakaat kedua, selain takbir rukuk di
masing-masing rakaat. (HR. Abu daud dan Ibn Majah dan dishahihkan al-Albani)
Al-Baghawi mengatakan: Ini adalah pendapat mayoritas ulama
dari kalangan shabat maupun orang-orang setelahnya. Mereka bertakbir ketika
shalat Id: di rakaat pertama tujuh kali selain takbiratul ihram dan di rakaat
kedua lima kali selain takbir bangkit dari sujud. Pendapat ini diriwayatkan
dari Abu bakar, Umar, Ali… radliallahu ‘anhum … (Syarhus Sunah, 4:309. dinukil
dari Ahkamul Idain karya Syaikh Ali Al-halabi)
Kelima, Mengangkat tangan ketika takbir tambahan
Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi mengatakan: Tidak terdapat
riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau
mengangkat kedua tangan setiap takbir-takbir shalat Id. (Ahkamul Idain, hal.
20)
Namun terdapat riwayat dari Ibnu Umar, bahwa beliau
mengangkat kedua tangan setiap takbir tambahan shalat Id. (Zadul Maad, 1/425)
Al-Faryabi menyebutkan riwayat dari al-Walid bin Muslim,
bahwa beliau bertanya kepada Imam malik tentang mengangkat tangan ketika
takbir-takbir tambahan. Imam malik menjawab: ya, angkatlah kedua tanganmu
setiap takbir tambahan…(Riwayat al-Faryabi dan sanadnya dishahihkan al-Albani)
Keterangan: Maksud takbir tambahan: takbir 7 kali rakaat
pertama dan 5 kali rakaat kedua.
Keenam, dzikir di sela-sela takbir tambahan
Syaikh Ali bin Hasan Al halabi mengatakan: Tidak terdapat
riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dzikir
tertentu di sela-sela takbir tambahan. (Ahkamul Idain, hal. 21)
Namun terdapat riwayat yang shahih dari ibn mas’ud
radliallahu ‘anhu, beliau menjelaskan tentang shalat Id:
بين كل تكبيرتين حمد
لله و ثناء على
الله
Di setiap sela-sela takbir tambahan dianjurkan membaca
tahmid dan pujian kepada Allah. (HR. al-Baihaqi dan dishahihkan al-Albani)
Ibnul Qoyim mengatakan: Disebutkan dari Ibn Mas’ud bahwa
beliau menajelaskan: (di setiap sela-sela takbir, dianjurkan) membaca hamdalah,
memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Zadul
Maad, 1/425)
Ketujuh, bacaan ketika shalat
Setelah selesai takbir tambahan, membaca ta’awudz, membaca
al fatihah, kemudian membaca surat dengan kombinasi berikut:
1. surat Qaf di rakaat pertama dan surat Al Qomar di rakaat
kedua
2. surat Al A’la di rakaat pertama dan surat Al Ghosyiah di
rakaat kedua
semua kombinasi tersebut terdapat dalam riwayat Muslim, An
nasai dan At Turmudzi
Kedelapan, tata cara selanjutnya
Tata cara shalat Id selanjutnya sama dengan shalat lainnya,
dan tidak ada perbedaan sedikit pun (Ahkamul Idain, hal. 22)
Orang yang Ketinggalan Shalat Id
Orang yang ketinggalan shalat Id berjamaah maka dia shalat
dua rakaat.
Imam Bukhari mengatakan: Bab, apabila orang ketinggalan
shalat Id maka dia shalat dua rakaat. (shahih Bukhari)
Atha’ bin Abi Rabah mengatakan:
إذا فاته العيد صلى
ركعتين
Apabila ketinggalan shalat Id maka shalat dua rakaat. (HR.
Bukhari)
Adapun orang yang meninggalkan shalat Id dengan sengaja,
maka pendapat yang nampak dari Syaikhul Islam Ibn taimiyah; dia tidak
disyariatkan untuk mengqadla’nya. (Majmu’ Al fatawa, 24/186)
Khotbah Id
Pertama, dilaksanakan setelah shalat
Dari Ibnu Umar, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
abu bakar dan umar radliallahu ‘anhuma, mereka semua melaksanakan shalat
sebelum khutbah. (HR. Bukhari dan muslim)
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan:
شهدت العيد مع رسول
الله -صلى الله عليه
وسلم-، وأبي بكر،
وعمر، وعثمان رضى الله
عنهم، فكلهم كانوا يصلون
قبل الخطبة
Saya mengikuti shalat Id bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, Abu bakar, Umar, dan Utsman radliallahu ‘anhum, mereka semua
melaksanakan shalat sebelum khhutbah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, khotib berdiri menghadap jamaah
dari Abu sa’id al-Khudri radliallahu ‘anhu, bahwa nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju lapangan shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
Pertama kali yang beliau lakukan adalah shalat, kemudian beliau berbalik,
berdiri menghadap jama’ah. Sementara para jamaah tetap duduk di barisan-barisan
mereka. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, imam berkhutbah di tempat yang tinggi tanpa mimbar
dalam hadis jabir disebutkan:
قام النبي -صلى الله
عليه وسلم- يوم الفطر،
فصلى، فبدأ بالصلاة، ثم
خطب، فلما فرغ نزل
فأتى النساء فذكرهن
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ketika Idul Fitri,
beliau mulai dengan shalat kemudian berkhutbah. Setelah selesai beliau turun
kemudian mendatangi jamaah wanita…(HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Bukhari mengatakan: bab, datang di lapangan (hari raya)
tanpa membawa mimbar. (shahih Al bukhari)
Imam Ibnul Qoyim mengatakan: Tidak diragukan, bahwa mimbar
tidak dibawa dari masjid (ke lapangan). Orang yang pertama kali mengeluarkan
mimbar ke masjid adalah Marwan bin Hakam, dan perbuatan beliau diingkari…
(Zadul Maad, 1:425)
Keempat, termasuk sunah: khotib berceramah dengan memegang
tongkat atau semacamnya
Dari Barra bin Azib radliallahu ‘anhu,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه
وسلم- نُــووِل يَـــــــوم العيد قَــوساً فَــخَـــطَــب
عليه
bahwa kami memberikan busur panah kepada nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pada hari raya dan beliau berkhutbah dengan memegangnya. (HR.
Abu Dayd dan dishahihkan al-Albani)
Kelima, khutbah dimulai dengan membaca tahmid
Imam Ibnul Qoyim mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memulai semua khutbahnya dengan membaca tahmid. Dan tidak diriwayatkan
dalam satu hadis-pun bahwa beliau memulai khutbahnya pada dua hari raya dengan
melantunkan takbir…(Zadul Maad, 1:425)
Syaikhul Islam mengatakan: Tidak diriwayatkan dari nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memulai khutbahnya dengan selain
tahmid, baik khutbah id, khutbah istisqa’, maupun khutbah lainnya…(Majmu’
al-fatawa, 22/393)
Keenam, isi khotbah disesuaikan dengan situasi terkini
jika khutbahnya ketika Idul Adha maka sang khatib
mengingatkan tentang Idul Adha dan rincian hukumnya, mengingatkan keutamaan 10
hari pertama di bulan Dzulhijjah, memerintahkan untuk bertakwa dan menjaga
ketaatan lainnya. Tidak selayaknya, kesempatan khutbah ini digunakan untuk
mencela pemerintah atau ulama, menuduh mereka kafir atau fasiq, atau tema-tema
khutbah lainnya yang dapat membangkitkan emosi masyarakat dan memicu kerusuhan.
Keringanan Untuk Tidak Mengikuti Khotbah
Dari Abdullah bin saib radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
Saya mengikuti shalat Id bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah
selesai khutbah beliau bersabda:
إِنَّا
نَـخطُب فَمَن أحَبَّ أَن
يَـجلسَ للخُطْبةِ فليَجلِسْ
و مَن أَحَبّ
أَن يَذهَب فليَذْهَب
“Saya akan menyampaikan khutbah. Siapa yang ingin duduk
mendengarkan khutbah, silahkan dia duduk, dan Siapa yang ingin pulang sialahkan
pulang.” (HR. Abu daud, an Nasa’i dan dishahihkan al-Albani)
Ibnul Qoyim mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memberi keringanan bagi orang yang mengikuti hari raya untuk duduk mendengarkan
khutbah atau pulang….(Zadul Maad, 1/425)
Allahu a’lam
Ditulis oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina
KonsultasiSyariah.com)
Sumber : https://konsultasisyariah.com/14531-panduan-idul-adha.html