• This is Slide

    Sharing Knowledge is Power

  • This is Slide

    Sharing Knowledge is Power

  • This is Slide

    Sharing Knowledge is Power

  • This is Slide

    Sharing Knowledge is Power

Tuesday, October 27, 2009

TUJUAN PENCIPTAAN MANUSIA

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Q.S. Al-Baqarah: 30)
Manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi. Manusia bertugas menyuburkan bumi dengan menjalankan syariat. Untuk menjalankan tugasnya itu manusia dilengkapi dengan perangkat yang sempurna. Perangkat itu dianugerahkan Allah secara bertahap, agar manusia dapat memiliki waktu untuk mengembangkan potensinya itu.
Pada saat lahir manusia belum bisa melihat dan juga berbahasa seperti sekarang. Mereka baru bisa mendengar. Setelah pendengarannya berkembang, diberikanlah penglihatan. Kemudian mulailah ia mengembangkan organ-organ geraknya agar dapat berdiri dan berjalan. Kemudian setelah ia mendapatkan informasi berupa suara, warna, rasa, bau, dan tekstur, mulailah ia memiliki kemampuan berbahasa seperti kita saat ini. Aqalnya terus berkembang sehingga ia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dia mulai dapat mempelajari hidup. Dia mulai dapat mengingat, membaca, kemudian memperoleh informasi lebih banyak lagi. Aqalnya semakin berkembang. Pada saat aqalnya berkembang inilah seharusnya manusia diajarkan tentang Allah dan syariat yang dibebankan kepadanya. Sebab pada masa ini nafsu dan emosi manusia belum sempurna, sehingga aqal masih dapat mendominasi fikirannya. Seperti kita ketahui, aqal adalah elemen hati yang patuh kepada Allah. Walaupun pada masa tersebut (masa tamyiz) manusia sudah memiliki emosi dan keinginan, tetapi emosi dan keinginannya belum sempurna. Dia belum memiliki keinginan seks –yang sempurna. Dia baru memiliki keinginan makan, minum, perasaan sayang yang tulus, perasaan marah, sedih, senang, dsb. Jika pada masa ini, manusia diberi informasi dan pelatihan yang cukup tentang Allah, syariat, akhlaq mulia, tugas manusia, Inysa Allah manusia tersebut akan mudah menjalankan tugas-tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Tetapi jika tidak, mungkin menjelang saatnya ia bertugas ia akan mengalami kegoncangan yang sangat berat sehingga mengakibatkan ia lalai akan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Nafsu, yang berfungsi untuk menggerakkan manusia agar berkembang-biak dan membangun bumi, menjadi tidak terkendali. Maka sangat penting untuk mengembangkan aqal secara maksimal pada tahap-tahap awal.
Setelah kedewasaan aqal dan emosi berkembang, mulailah saatnya manusia mengalami kedewasaan nafsu. Mulailah nafsu dan tubuhnya menjadi sempurna. Ia mulai memahami dan mengalami apa yang disebut syahwat terhadap lawan jenis. Mulai saat itulah ia harus berdiri menjalankan tugasnya sebagai khalifah. Ia harus melaksanakan segala syariat yang telah dibebankan kepadanya, mengolah bumi agar terwujud kedamaian, melestarikan keturunan manusia, menyuburkan bumi.
Tetapi ada satu hal yang mungkin dilupakan banyak manusia, yaitu kedewasaan ruh. Kedewasaan ruh seharusnya sudah berkembang sejak manusia itu lahir. Tetapi ternyata tidak semua manusia berkembang dengan pesat di waktu dini dalam hal ini. Mungkin hanya ruh para nabi dan rasul saja yang berkembang pesat ruhnya di saat masih bayi. Sedangkan yang lain ada yang setelah berumur tujuh tahun, barulah berkembang dengan sangat cepat; ada pula yang pada saat menjelang baligh, ada yang saat telah baligh, ada yang setelah berumur 30–an, ada yang setelah berumur 40–an, dan ada pula yang ruhnya malah makin kerdil, tidak berkembang. Padahal perkembangan ruh ini adalah yang sangat penting sekali. Ruh inilah yang di dalamnya terdapat potensi pengenalan terhadap Allah Yang telah mencipta segalanya. Ruh inilah yang akan mencintai Allah. Dan itulah tujuan manusia diciptakan, agar mereka mengenal Allah. Dengan mengenal Allah, ibadah dan perjalanan kita tidak salah alamat. Dengan syariat Allah, ibadah dan perjalanan kita tidak salah cara. Bagaimanakah Anda dapat mengantarkan suatu barang kepada seseorang jika Anda tidak mengenal orang itu dan tidak tahu cara memberikan barang itu, bahkan Anda tidak tahu apa barang yang Anda antarkan?
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (Q.S. Adz Dzariyat: 56-58)
Allah mengajarkan manusia untuk menyembahNya agar manusia tidak menyembah yang selainNya. Sebab menyembah dan mencintai yang selain Dia akan menyebabkan manusia menjadi resah-gelisah dan gundah-gulanah. Sesungguhnya dunia ini fana. Dunia hanyalah fatamorgana, khayalan, imajinasi. Mencintai yang fana akan membuat kita takut kehilangan. Dan dunia memang pasti akan sirna. Tetapi dengan berpegang kepada Allah Yang Kekal, kita akan merasa mantap.
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (QS. Ar-Rahman: 26-27)

Seharusnya kita sadar bahwa kita hanyalah suatu ciptaan. Allah menciptakan kita bukan sekedar iseng. Allah menciptakan kita untuk suatu yang besar, untuk menjadi khalifah di muka bumi. Tetapi kita sering melupakan Allah disebabkan kita terlalu asyik dengan pekerjaan kita.
Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. (Q.S. Al-Anbiya`: 16 atau Adh-Dhukhan: 38)
Maka biarlah mereka tenggelam (dalam kesesatan) dan bermain-main sampai mereka menemui hari yang dijanjikan kepada mereka.( Q.S. Az-Zukhruf: 83 atau Al-Ma’aarij: 42)
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (Q.S. Al-Ahzab: 72)
Â

http://artikelislami.wordpress.com

Tuesday, October 20, 2009

Menikah beda agama


Apakah seorang muslim boleh menikahi wanita non muslim? Dalam hukum Islam, wanita non muslim itu terbagi menjadi 4 golongan.

1. Wanita yang Musyrik (Musyrikah atau Animis /Paganis)

2. Wanita yang tak mengakui adanya tuhan atau Atheis (Mulhidah)

3. Wanita yang Murtad dari agama Islam (Murtaddah)

4. Wanita ahlu al kitab (beragama yahudi atau nasrani)

Dari keempat golongan wanita di atas, Islam menghalalkan pernikahan hanya bagi wanita Ahlu Kitab. Sedangkan wanita dari golongan selain Ahli Kitab maka Islam melarang menikahinya.

1. Musrikah. Yang dimaksud dengan musyrikah adalah penyembah berhala (animisme/paganisme). Hukum Islam melarang bagi seorang muslim untuk menikahi seorang muysrikah/animis/paganis. Hal itu diterangkan dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 221. Hikmah dari pengharaman tersebut sangatlah jelas, yaitu ketidakcocokan antara Islam dan animisme. Yang mana aqidah tauhid sangat mencela animisme dan kelompok animisme tidak mempunyai kitab samawi serta Nabi yang diutus oleh Tuhan. Hal ini sangat bertentangan sekali dengan ajaran-ajaran dasar agama Islam. Sebagaimana yang tertulis di ayat 221 yang terakhir surat albaqoroh sehingga apabila terjadi pernikahan antara seorang muslim dan musyrikah maka yang akan terjadi di dalam kehidupan berumah tangganya adalah pertengkaran dan pertengkaran.

2. Mulhidah, yang dimaksud dengan mulhidah adalah wanita yang tidak beragama dan tidak mengakui adanya Tuhan, kenabian, kitab suci dan akherat. Atau disebut atheis. Lelaki muslim diharamkan menikahi wanita atheis. Ini karena wanita atheis kedudukannya leb ih buruk dibanding wanita yang musrik, yang mana wanita musyrikah masih mengakui adanya tuhan, kenabian, kitab suci dan akherat. Tetapi mereka menduakan Tuhan di dalam penyembahan. Mereka (musyrikah) diharamkan menikahinya apalagi bagi wanita yang sama sekali tidak mengakui adanya tuhan. Maka pengharaman untuk menikahinya lebih diutamakan.

3. Murtaddah, yang dimaksud dengan murtad adalah individu yang menjadi kufur setelah iman, baik kekefurannya itu berupa perpindahan keyakinan atau agama, atau sama sekali tidak memeluk agama. Kemurtadan di dalam Islam memiliki hukum-hukum yang berkenaan dengan akherat (seperti yang tertera dalam al-Quran surat al-Baqoroh 217), dan hukum-hukum yang berkenaan dengan dunia. Seperti orang yang murtad tidak mendapat perlindungan dari masyarakat Islam, dan diharamkan adanya hubungan perkawinan antara seorang muslim dan murtaddah ataupun sebaliknya. Dan apabila terjadi perkawinan diantara keduanya maka pernikahannya tidak sah. Dan jika kemurtadan itu timbul setelah terjadinya perkawinan, maka suami dan istri tersebut harus dipisahkan dan hukum ini sudah disepakati oleh para ahli fiqh.

4. Ahli Kitab, jumhur ulama ahlussunnah menyatakan bahwa pernikahan seorang muslim dengan wanita Ahlu Kitab diperbolehkan/halal hukumnya. Yaitu berlandaskan al-Quran ayat 5 surat al-Maidah. Para ulama juga melihat bahwa ahlli kitab saat ini juga termasuk dalam ayat tersebut. Penting untuk diketahui juga, pembolehan Islam terhadap pernikahan wanita Ahli Kitab didasari oleh dua perkara, yaitu :

1. Bahwa wanita Ahli Kitab memiliki kesatuan sumber agama dengan agama Islam, dan diapun (wanita ahli Kitab) beriman kepada Tuhan dan nabi-nabinya serta beriman pula akan adanya hari pembalasan dan akherat.

2. Bahwa wanita Ahli Kitab yang dikawini oleh seorang muslim, maka dia akan hidup di bawah naungan suaminya yang muslim dan tunduk terhadap undang-undang masyarakat Islam. Sehingga lama kelamaan wanita tersebut akan terpengaruh dengan ajaran-ajaran Islam. Dan sangat diharapkan agar wanita tersebut dapat memeluk Islam setelah sekian lama ia hidup di dalam masyarakat muslim.

sumber : http://www.pesantrenvirtual.com

Islam agama yang mudah


Ditulis oleh Ustadz Abdullah Hakam Shah, Lc
“Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku untuk mempersulit atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan.” (HR. Muslim, dari ‘Aisyah ra.)

Islam mempunyai karakter sebagai agama yang penuh kemudahan seperti telah ditegaskan langsung oleh Allah Swt. dalam firmanNya:
وماجعل عليكم في الدين من حرج

“…dan Dia tidak menjadikan kesukaran dalam agama atas diri kalian.”

Sementara dalam sebuah haditsnya, Nabi Saw. pun bersabda:

إن الله لم يبعثني معنتا ولامتعنتا ولكن بعثني معلما ميسرا

“Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengutusku untuk mempersulit atau memperberat, melainkan sebagai seorang pengajar yang memudahkan.” (HR. Muslim, dari ‘Aisyah ra.)

Visi Islam sebagai agama yang mudah di atas termanifestasi secara total dalam setiap syari’atnya. Sampai-sampai, Imam Ibn Qayyim menyatakan, “Hakikat ajaran Islam semuanya mengandung rahmah dan hikmah. Kalau ada yang keluar dari makna rahmah menjadi kekerasan, atau keluar dari makna hikmah menjadi kesia-siaan, berarti itu bukan termasuk ajaran Islam. Kalaupun dimasukkan oleh sebagian orang, maka itu adalah kesalahkaprahan.”


Ada beberapa prinsip yang secara kuat mencerminkan betapa Islam merupakan agama yang mudah. Yaitu di antaranya:

Pertama, menjalankan syari’at Islam boleh secara gradual (bertahap). Dalam hal ini, seorang muslim tidak serta-merta diharuskan menjalankan kewajiban agama dan amalan-amalan sunnah secara serentak. Ada tahapan yang mesti dilalui: mulanya kita hanya diperintahkan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban pokok agama. Setelah yang pokok-pokok berhasil dilakukan dengan baik dan rapi, kalau punya kekuatan dan kesempatan, maka dianjurkan untuk menambah dengan amalan-amalan sunnah.

Izin untuk mengamalkan syari’at Islam secara bertahap ini telah dicontohkan oleh RasululLah Saw. sendiri. Suatu hari, seorang Arab Badui yang belum lama masuk Islam datang kepada RasululLah Saw. Ia dengan terus-terang meminta izin untuk sementara menjalankan kewajiban-kewajiban Islam yang pokok saja, tidak lebih dan tidak kurang. Beberapa Sahabat Nabi menunjukkan kekurang-senangannya karena menilai si Badui enggan mengamalkan yang sunnah. Tapi dengan tersenyum, Nabi Saw. mengiyakan permintaan orang Badui tersebut. Bahkan beliau bersabda: “Dia akan masuk surga kalau memang benar apa yang dikatakannya.”


Kedua, adanya anjuran untuk memanfaatkan aspek rukhshah (keringanan dalam praktek beragama). Aspek Rukhshah ini terdapat dalam semua praktek ibadah, khususnya bagi mereka yang lemah kondisi tubuhnya atau berada dalam situasi yang tidak leluasa. Bagi yang tidak kuat shalat berdiri, dianjurkan untuk shalat sambil duduk. Dan bagi yang tidak kuat sambil duduk, dianjurkan untuk shalat rebahan. Begitu pula, bagi yang tidak kuat berpuasa karena berada dalam perjalanan, maka diajurkan untuk berbuka dan mengganti puasanya di hari-hari yang lain.

Dalam sebuah hadits Qudsi Allah Swt. berfirman:

إن الله يحب أن تؤتي رخصه كما يكره أن تؤتي معصيته

“Sesungguhnya Allah suka kalau keringanan-keringananNya dimanfaatkan, sebagaimana Dia benci kalau kemaksiatan terhadap perintah-perintahNya dilakukan.” (HR. Ahmad, dari Ibn ‘Umar ra.)

Dalam sebuah perjalanan jauh, RasululLah Saw. pernah melihat seorang Sahabatnya tampak lesu, lemah, dan terlihat berat. Beliau langsung bertanya apa sebabnya. Para Sahabat yang lain menjawab bahwa orang itu sedang berpuasa. Maka RasululLah Saw. langsung menegaskan: “Bukanlah termasuk kebajikan untuk berpuasa di dalam perjalanan (yang jauh).” (HR. Ibn Hibbân, dari Jâbir bin ‘AbdilLâh ra.)

Ketiga, Islam tidak mendukung praktek beragama yang menyulitkan. Disebutkan dalam sebuah riwayat, ketika sedang menjalankan ibadah haji, RasululLâh Saw. memperhatikan ada Sahabat beliau yang terlihat sangat capek, lemah dan menderita. Maka beliau pun bertanya apa sebabnya. Ternyata, menurut cerita para sahabat yang lain, orang tersebut bernadzar akan naik haji dengan berjalan kaki dari Madinah ke Mekkah. Maka RasululLâh Saw. langsung memberitahukan, “Sesunguhnya Allah tidak membutuhkan tindakan penyiksaan diri sendiri, seperti yang dilakukan oleh orang itu.” (HR. Bukhâri dan Muslim, dari Anas ra.)


Demikianlah, Islam sebagai agama yang rahmatan lil’ ‘alamin secara kuat mencerminkan aspek hikmah dan kemudahan dalam ajaran-ajarannya. Dan kita sebagai kaum muslimin, telah dipilih oleh Allah Swt. untuk menikmati kemudahan-kemudahan tersebut. Diceritakan oleh ‘Aisyah ra. bahwa RasululLâh Saw. sendiri dalam kesehariaannya, ketika harus menentukan antara dua hal, beliau selalu memilih salah satunya yang lebih mudah, selama tidak termasuk dalam dosa. (HR. Bukhâri dan Muslim)

Akan tetapi, kemudahan dalam Islam bukan berarti media untuk meremehkan dan melalaikan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan. Rukhshah tidak untuk dijadikan apologi, keringanan-keringanan dari Allah bagi kita jangan sampai membuat kita justru menjadi jauh dariNya. Karakter Islam sebagai agama yang mudah merupakan manifestasi nyata bahwa ajaran Islam bukanlah sekumpulan larangan yang intimidatif, melainkan ajaran yang mewedarkan kasih-sayang. Sehingga dengan demikian, ketika kita menjalankan ajaran-ajaran Islam, motivasinya bukan karena kita takut kepada Allah Swt., tapi lebih karena kita rindu dan ingin lebih dekat denganNya. Bukan karena kita ngeri akan nerakaNya, namun lebih karena kita ingin bersimpuh di haribaanNya –di dalam surga yang abadi.

sumber : http://www.pesantrenvirtual.com